Motivasi dari Al Qur'an

Mata Air 3: Tetaplah Rendah Hati



"Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik"(Al-Furqaan[25]:63)

Rendah hati adalah lawan dari sifat sombong. Sifat sombong berasal dari sifat iblis. Itulah sifat yang mem-buatnya terusir dari surga dan memperoleh jaminan neraka dari Allah swt. Kesombongan iblis digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur'an,

"(Ingatlah), ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu sem.ua kepada Adam,' lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia ber-kata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?'" (al-Israa' [17]: 61) .

Allah menciptakan Iblis dari api, malaikat dari cahaya dan manusia dari tanah. Faktor psikologis yang mendorong iblis bersikap sombong adalah, dia merasa bahwa dirinya lebih baik. Dia menganggap bahwa unsur api lebih mulia dari tanah, sehingga dia menganggap dirinya lebih baik daripada Nabi Adam. Dia merasa gengsi untuk sujud dan tunduk kepada Nabi Adam yang hanya diciptakan dari tanah.

Pengertian dari rendah hati adalah tidak merasa diri lebih baik, tetapi juga tidak merasa rendah diri yang malah akan membuatnya tidak bisa menggali potensi dan kemampuan dirinya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan menjadikannya unggul di bidang tertentu, meski-pun di bidang yang lain dia tidak unggul.

Imam Syafi'i mengatakan dalam sebuah syairnya,
"Rendah hatilah! Engkau menjadi seperti bintang,
dia berada tinggi di langit.Tetapi di permukaan air, dia tampak rendah"

Allah swt. memberikan seribu satu macam kemampuan dan potensi dalam diri manusia. Dia juga menciptakan sarana dan fasilitas di alam ini sebagai rangsangan (stimulus), agar potensi dan kemampuan-kemampuan itu tidak tersembunyi dan dapat diolah dan diaktualisasikan.

Semua manusia diberikan akal yang sama, mata yang sama, telinga yang sama, dan hidung yang sama. Semua alat inderawinya sama, bahkan mereka hidup di bumi yang sama. Meskipun semua modal yang Allah berikan itu sama, tetapi beberapa aspek kehidupan mereka berbeda. Mengapa demikian? Perbedaannya terletak pada besar-kecilnya usaha (mujahadah) yang mereka lakukan dan tingkat efektivitas usaha itu.

"Usaha", mungkin Anda akan mengasosiasikannya dengan profesi atau pekerjaan. Meskipun asosiasi Anda itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Sebab pengertian usaha adalah penggunaan seluruh fasilitas inderawi yang diberikan oleh Allah untuk pencapaian tujuan dan keutamaan (fadhaa'il). Untuk usaha yang efektif, diperlukan strategi yang tepat yang dirancang oleh akal. Akal merancang langkah-langkah yang mampu dan bisa dilaksanakan oleh organ-organ tubuh.

Itulah yang menghasilkan perbedaan di antara manusia. Mulai dari usaha orang tua untuk mendidik dan melatih anak-anaknya, hingga usaha seorang remaja dalam mengem-bangkan kemampuan pribadinya.

Sebagai ilustrasi, saya akan menguraikan kepada Anda perbandingan antara dua orang yang memiliki kemampuan yang sama, namun hasil yang mereka peroleh serta pengaruh mereka di masyarakat berbeda.

Zaid dan Amru, keduanya sama-sama memiliki keahlian dan kemampuan khusus. Zaid dengan cepat bisa mencapai tingkat kehidupan yang makmur dan sejahtera, harta benda dan kekayaannya berlimpah. Sementara Amru, meski me­miliki kemampuan dan keahlian yang sama, tetapi dia tetap hidup dalam kesederhanaan, bahkan serba kekurangan.

Dari sisi materi, Zaid hidup dalam kondisi serba ber-kecukupan, keluarganya tenang dan tenteram. Hubungan-nya dengan tetangga biasa saja, tidak ada kesan istimewa bagi para tetangganya tentang dia. Sementara Amru, meski dia hidup sederhana, keluarganya juga sederhana dan me-nerima keadaan mereka apa adanya, namun para tetangga menghormatinya. Itu karena kepribadiannya yang berwi-bawa dan kepeduliannya terhadap masalah-masalah yang timbul di lingkungannya. Dia menjadi tempat untuk mene-mukan solusi atas berbagai permasalahan para tetangganya.

Antara Zaid dan Amru, masing-masing memiliki ke-lebihan yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai ridha Allah swt., juga mempunyai kelemahan yang membuka peluang bagi iblis untuk mencelakainya. Kelebihan Zaid adalah, dia memiliki harta yang banyak, sehingga dia bisa melaksana-kan ibadah haji sebanyak yang dia mau, berzakat dan me-nyantuni banyak orang miskin dan dhuafa', membangun masjid sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak pernah terputus, serta banyak lagi ibadah finansial (ibadah maaliyah) lain yang bisa dia lakukan.



Alangkah beruntungnya orang kaya yang bisa memanfaat-kan kekayaannya untuk memenuhi perintah-perintah Allah. Kekayaan adalah anugerah penting yang Allah berikan. Pemiliknya memiliki peluang sangat besar untuk meng-gapai ridha Allah swt. Tidak seperti keadaan tujuh orang dari bani Auf yang datang kepada Rasulullah saw. Mereka sangat ingin untuk ikut berjihad bersama Rasulullah saw. pada Perang Uhud. Akan tetapi, karena kemiskinan mereka dan Rasulullah juga tidak mempunyai apa-apa untuk mem-bantu, Mereka akhirnya tidak bisa mewujudkan keinginan mulia itu dan pulang kembali dengan kesedihan yang ber-tumpuk dan air mata bercucuran. Allah mengabadikan kisah mereka dalam firman-Nya,

"Tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepada-mu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, 'Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,' lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (at-Taubah [9]: 92)

Seandainya mereka memiliki kendaraan dan kemampuan untuk membeli kuda tunggangan untuk berjihad, mereka pasti tidak akan sesedih itu. Seandainya mereka memiliki kelebihan rezeki, mereka pasti menjadi kekuatan pasukan yang berdiri di barisan paling depan pasukan kaum muslimin. Itu adalah model kekayaan yang menjadi penopang kekuatan iman.

Di samping itu, kekayaan juga bisa menjadi celah kele-mahan yang dimanfaatkan oleh iblis untuk mencelakai pe-miliknya. Kekayaan membuatnya sombong dan tinggi hati, sehingga dia lalai dari menjalankan perintah-perintah Allah swt. Itu adalah jenis kekayaan yang membawa petaka. Contoh-nya adalah Qarun.

"Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepada-nya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, 'janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang terlalu membanggakan diri.'" (al-Qashash [28]: 76)

"Qarun berkata, 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.' Apakah dia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka." (al-Qashash [28]: 78)

Simaklah ayat itu, perkataan Qarun "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu'yang ada padaku." Bandingkan ungkapan itu dengan perkataan iblis ketika me-nolak untuk tunduk kepada Nabi Adam a.s., "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" Kedua kalimat itu berasal dari karakter yang sama, yaitu tinggi hati.

Qarun merasa bahwa ilmunya adalah faktor terpenting yang membuatnya menjadi kaya. Dia tidak mengakui bahwa ilmu itu berasal dari Allah dan hartanya juga berasal dari Allah. Sementara iblis menganggap bahwa dirinya lebih mulia sehingga tidak mengakui keunggulan dan kelebihan Nabi Adam a.s. atas dirinya.

Sama seperti kesombongan iblis, jika kesombongan Qarun hanya dimilikinya sendiri, mungkin yang akan celaka hanya dia seorang. Akan tetapi, banyak orang lain yang menjadi kufur nikmat karena tingkah lakunya. Allah menjelaskan itu dalam firman-Nya,

"Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, 'Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.'" (al-Qashash [28]: 79)

Kesombongan yang ada dalam diri Qarun menularkan virus iri hati dan kufur nikmat kepada orang-orang yang melihatnya, kecuali orang-orang cerdas yang beriman. Mereka tidak bisa dijangkiti virus yang ditimbulkan oleh sifat sombong Qarun.

"Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, 'Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Pahala itu tidak akan dimiliki, kecuali oleh orang-orang yang sabar.'" (al-Qashash [28]: 80)

Meski hidupnya bergelimang harta dan kekayaan, dia tidak akan membawa pergi harta itu ke akhirat. Akhir kehidupan orang yang sombong selalu tidak baik. Kehidupan mereka akan berakhir dengan kehancuran dan kematian yang tragis. Begitulah nasib Qarun,

"Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya) Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata, Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempit-kannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).'" (al-Qashash [28] : 81-82)

Allah mendidik manusia, meski tidak secara langsung. Dia sengaja memberi manusia akal dengan kemampuan berpikir dan hati dengan perasaan (emosi) untuk menimbang antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Kisah Qarun adalah pelajaran bagi manusia agar mereka rendah hati dengan kekayaan yang telah Allah anugerahkan.

Kekayaan bukan satu-satunya fasilitas hidup yang bisa membuat manusia menjadi sombong. Jabatan dan kekuasa-an juga bisa membuatnya sombong, seperti kesombongan Fir'aun dengan kekuasaannya hingga ia mengaku diri sebagai tuhan. Allah swt. berfirman,

"(Juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. Sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi, mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu)." (al-'Ankabuut [29]: 39)

Orang miskin yang rendah hati, itu hal yang biasa, tetapi hartawan dan pejabat yang rendah hati, itu luar biasa. Keadaan itu menandakan ketundukan dan ketaatan kepada Allah swt. Rendah hati tidak berarti lemah dan rendah. Justru rendah hati adalah kualitas jiwa yang menyimpan kekuatan besar, karena dia hanya tunduk kepada yang Mahakuasa dan Mahaperkasa, yaitu Allah swt.

Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendahhatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang lebih tinggi derajat-nya merasa dihargai dan membuat orang yang lebih rendah derajatnya tidak merasa minder.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Label

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.